Bijak Menilai Taklid
Taqlid bukanlah hal yang asing bagi masyarakat
indonesia,terutama bagi para masyarakat nahdiyin (Nahdatul Ulama),namun sering
kali masyarakat umum di luar Nahdiyin menilai taqlid dengan perspektif negatif.
Sesungguhnya taqlid adalah ijtihad ulama terdahulu dalam berdakwah di bumi
indonesia.masyarakat kini hanya menilai dengan satu sudut pandang saja, dan
tidak tahu atas dasar apa taqlid dilberlakukan para ulama saat itu kepada
masyarakat awam dalam beragama Islam.
Taqlid jika di artikan menurut bahasa adalah keyakinan atau kepercayaan kepada suatu paham (pendapat) ahli hukum yg sudah-sudah tanpa mengetahui dasar atau alasannya. Nahdatul Ulama (NU) yang beraliran Ahli Sunah wal Jama’ah mengajarkan kepada pengikutnya agar membudayakan menyerahkan sesuatu pada ahlinya.hal ini diberlakukan bukanlah tanpa dasar,karena untuk belajar Islam yang syar’i kita memang butuh seorang ulama yang membimbing agar tidak terjadi penafsiran yang salah dalam menjalakan syariat agama islam.
Pada masa Rasulullah saw hidup,hadist tidak pernah
terbagi – bagi menjadi berbagai kategori seperti saat ini yang terbagi menjadi
hadist shahih, hasan, dha’if, dll. Tentunya untuk menggolongkan dan mengetahui
hadist apa saja yang shahih dan hasan dibutuhkan keilmuan yang sangat tinggi,
dan dalam hal ini semuat umat islam bertaklid kepada Imam Muslim & Imam
Bukhari bahwa hadist yang mereka kumpulkan adalah hadist – hadist yang sudah
terpercaya untuk di pelajari dan diamalkan. K.H Wahab Hasbullah salah satu
pendiri NU berpendapat falam segala hal,apa bila umat Islam tidak memahami
sesuatu, kemudian mengikuti pakarnya berarti ia telah bertaqlid.
“Maka tanyakanlah olehmu kepada
orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada Mengetahui.”(QS. Al Anbiya : 7)
Kitapun harus melihat dari sisi historis
diberlakukanya metode taqlid ini, pada zaman pra kemerdekaan ketika NU baru
berdiri, keadaan umat muslim Indonesia saat itu sangatlah minim pengetahuan
keislamanya, hal ini merupakan dampak dari diberlakukanya sistem Tanam Paksa
kepada kaum Petani di Indonesia.para petani sangat disibukkan dan dihabiskan
waktunya untuk kegiatan persawahan.sehingga ini menjadi tantangan tersendiri
bagi para ulama dalam upaya dakwah mencerdaskan masyarakat khususnya para
petani.
Umumnya pada saat itu,rakyat benar –
benar tidak memiliki kesempatan untuk belajar agama dan tidak sempat pula
memiliki kitab-kita sumber ajaranya. Dapat dipastikan, mereka tidak mungkin
mampu membeli kita agama. Sementara itu, pesantren yang mengajarkan agama
dibakar oleh serdadu penajajah.selain itu para ulamanya ditangkap,dipenjara,
atau dibuang. Kemudian , terbentuklah mayoritas masyarakat muslim tanpa ulama,
tanpa pesantren dan tanpa kitab agama.*
Pada saat itu belanda melihat suatu
ancaman jika para masyarakat kecil seperti petani memiliki pemahaman Islam,
karena Islam mengajarkan kita untuk menentang segala bentuk imperialisme.jadi
perlu kita pahami bahwa dahulu belanda melakukan upaya pembodohan kepada umat
muslim yang lemah untuk tidak mempelajari islam secara baik dan benar.
Bagaimanapun juga perlu kita hargai
usaha para Ulama pendiri NU dalam berdakwah pada masanya, namun apakah metode
ini masih perlu untuk dilakukan? Sedangkan ditubuh NU sendiri banyak sekali
dimasuki para kaum – kaum liberal yang berkedok ulama.tampaknya saat ini metode
taqlid sangatlah berbahaya untuk diberlakukan ditengah banyaknya orang – orang
berkepentingan yang menggunakan organisasi Nahdatul Ulama untuk kepentingan
liberalisasi dan sekurilisasi Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar