Prihatin
Kawan. Ini adalah cerita yang kuramu dengan berbagai
jenis tamanan kesedihan, tumbuhan memilukan, dan pohon penderitaan. Yang
kucabut secara paksa dari akar kemiskinan, dengan dahan ketidakberdayaan, dan
daun ketidakmampuan. Tak ada kesemuan dari semua ini. Adalah kisah nyata, dari
kegagalan system pemerintahan. Yang kata orang pintar disebut neoliberal, atau
pun kapitalisme. Entah apa, aku tak tahu. yang kutahu secara praktis adalah
akibat dari mereka semua, kita miskin di negeri yang kaya. kita impotensi di
negera yang super-potensi. Kita tak bangga ditanah air mahadaya.
Mereka semua mengontrak dengan karyawan lain yang
sama-sama sebagai perantau. Biaya kontrakan, sudah ditanggung pihak bengkel.
Namun, yang membuat aku menahan tangis adalah, tak ada perabotan makan pun di
sini. Tak ada piring. Gelas hanya dua, itupun satunya gelas plastic. Sendok,
sepertinya hanya ada satu, bentuknya pun tak karuan. Kompor, nihil. Ketika
kutanya bagaimana makannya, mereka menjawab kompak. makannya diluar, biasanya
di warteg langganan depan jalan. jika pagi hari, menunya khas orang Jakarta,
nasi uduk. Tapi, Anto menyangkal, kalau dia gak doyan nasi uduk. Katanya,
baunya gak enak dan gak bikin kenyang. Dasar perut kampung. Lalu mereka malah
membalikkan bola pertanyaan, aku disuruh memikirkan, mana cukup sepuluh ribu untuk
makan sehari di kota Jakarta ini. Terpaksa mereka terkadang sering menyeduh mie
instan.
Kawan, mau tahu bagaimana mereka menyeduh mie. Aku
jelaskan, di kontrakan hanya ada peralatan, tivi, kasur dan dispenser saja.
Tivi untuk hiburan. Kasur untuk tidur massal. Yaa, dispenser ini untuk
menghangatkan air gallon yang selanjutkan untuk menyeduh mie. Caranya, mereka
buka bungkus mie, lalu dihancurkan mie jadi beberapa bagian, dan langsung
ditumpahkan saja air hangat ke dalam bungkus itu. Ditunggu beberapa saat,
langsung masukkan bumbu, dan siap untuk disantap. Tanpa piring!
Ada gemuruh keras di dadaku. Dan gemuruh itu berhasil
membuatku sesak. Dan segera kuhapus aliran kecil yang tumpah di mata. Ternyata,
tak hanya mie saja, kawan. Mereka juga gemar menyeduh kopi instant bungkusan,
ditambah beberapa batang rokok. Yaa, itulah teman sejati mereka. Yang menemani
di setiap pelepasan malam yang dingin. Melepas lilitan-lilitan kelelahan
mencuci kendaraan orang.
Kemelasan itu belum sampai di situ saja, kawan. Aku
lihat sendiri, kaki mereka kutu air dalam taraf mengkhawatirkan. Terkadang,
jika kami bersendau gurau, menceritakan kabar di kampong dengan gelak tawa,
mereka mengukur-ukur telapak kaki hingga semakin memerah. Yaa, air tak
bersahabat dengan mereka, padahal setiap hari mereka harus berhadapan dengan
fluida yang satu ini, jika ingin tetap bertahan di kota metropolitan. Terdengar
kejam, tapi inilah fakta. Tak pernah membela siapapun.
Sebenarnya, belum genap sebulan mereka kerja.
Kira-kira baru tiga minggu. Namun, gaji awal seratus lima puluh ribu sudah
dibayar di depan, katanya uang planjeran, DP. Kawan pasti bisa membayangkan.
Bagaimana reaksi mereka yang baru saja menerima uang. Jangankan hitungan hari,
dalam semalam mereka menghabiskan uang itu dengan alasan berbagai jenis
kebutuhan. Dari celana panjang, makan mie ayam grobak, sampai sepatu futsal.
Katanya, setiap sabtu ada bonus liburan main futsal di dekat bengkel. Maklum,
itulah potret kami yang tak bisa kami bohongi. Bertahan atau tersingkir. Kenyang
atau lapar. Kokoh atau tumbang. Adalah opsi-opsi yang menyertai bayangan tubuh
mereka. Seleksi alam. Pemilihan yang akan hidup atau tidak yang dilakukan oleh
lingkungan yang terjadi secara alamiah. Teori biologi ini berlaku untuk mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar