Rabu, 25 September 2013

KURIKULUM 2013

Saat ini Kemendikbud sedang menyusun Kurikulum baru yang bakal digunakan pada tahun 2013. Uji publik juga sudah dimulai. Upaya ini dilakukan sebagian sebagai respons atas tawuran pelajar dan mahasiswa yang marak, dan sinyalemen keras bahwa kurikulum kita saat ini overloaded, terlalu banyak mata pelajaran yang disajikan di sekolah. Kemudian mata pelajaran IPA dan IPS dihapus di SD, dimasukkan secara tematik dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, Agama, atau Kewarganegaraan. Disinyalir jumlah mata pelajaran yang terlalu banyak telah menyebabkan pembelajaran dangkal, bukan mendalam.

Dalam draftnya, kurikulum baru ini dikembangkan sebagai bagian dari strategi pengembangan pendidikan tiga dimensi. Dimensi pertama adalah peningkatan efektifitas belajar. Kurikulum dan pelaksananya, yaitu guru, menjadi kunci. Dimensi kedua, meningkatkan lama tinggal di sekolah hingga jenjang SMU melalui program Pendidikan Menengah Universal, atau program Wajib Belajar 12 tahun. Yang ketiga adalah menambah jam belajar di sekolah hingga sore hari. Ketiga strategi ini tentu perlu kita apresiasi. Tulisan pendek ini bermaksud memberi catatan kritis atas strategi tersebut.

Catatan pertama, ketiga dimensi strategi tersebut saling berkaitan, bukan besaran yang berdiri sendiri. Harus dikatakan bahwa dimensi pertama sesungguhnya adalah strategi yang paling menentukan. Dalam banyak kasus, dimensi kedua dan ketiga justru bisa menghambat dimensi yang pertama. Ini telah ditunjukkan oleh Ivan Illich sekitar 40 tahun yang lalu dan bisa kita amati secara empiris di sekitar kita saat ini : semakin banyak sekolah, semakin lama bersekolah, semakin besar anggaran pendidikan, semakin banyak sarjana, tapi masyarakat tampaknya tidak semakin terdidik.

Kedua, ada asumsi yang kuat bahwa dimensi kedua, yaitu, semakin lama bersekolah (hingga jenjang sekolah menengah) semakin baik. Lalu semakin lama di sekolah (pulang sore) (dimensi ketiga) juga semakin baik. Asumsi ini hanya valid bila dimensi pertama valid, artinya, pembelajaran terjadi secara efektif. Jika asumsi ini tidak valid, semakin lama seorang murid bersekolah dan di sekolah hingga sore hari, justru semakin buruk akibatnya bagi dirinya. Asumsi-asumsi ini sangat dipengaruhi oleh schoolism yang mereduksi pendidikan sebagai persekolahan belaka.

Strategi dimensi kedua dan ketiga yang lebih bersifat kuantitatif relatif lebih mudah melaksanakannya. Persoalannya hanya ketersediaan anggaran. Semakin besar anggaran, semakin baik. Sementara dimensi pertama yang lebih kualitatif jauh lebih sulit. Untuk dimensi pertama inilah, praktek pendidikan kita selama ini kedodoran. Artinya proses pembelajaran di banyak sekolah kita tidak berlangsung efektif : tidak membangun karakter dan kompetensi-kompetensi kunci yang diperlukan agar hidup sehat dan produktif.

Kedodoran itu dibuktikan dengan otak-atik kurikulum yang dilakukan selama ini, termasuk upaya pengembangan kurikulum 2013 saat ini. Kedodoran itu diperparah oleh guru yang tidak kompeten dan budaya sekolah yang tidak meritokratik sebagai pelaksana kurikulum yang mengubah kurikulum yang direncanakan menjadi kurikulum yang terlaksana.

Pada akhirnya pendidikan yang baik tergantung bagaimana murid belajar sebagai sebuah proses memaknai pengalamannya sehari-hari. Proses memaknai pengalaman itu kemudian ditunjukkan oleh perubahan sikap dan praktek kehidupan sehari-hari yang diteladankan guru dan dibudayakan di sekolah. Sesederhana ini sebenarnya apa yang bisa kita harapkan dari pendidikan : memperbaiki praktek kehidupan sehari-hari, bukan untuk menjuarai lomba-lomba sains, atau lulus Ujian Nasional.

Perbaikan mutu pendidikan ini dengan demikian sesungguhnya tergantung pada kualitas guru dan budaya sekolah di mana murid mengalaminya sebagai bagian dari kehidupannya sehari-hari, bukan sekedar menjelang ujian-ujian. Jika kualitas guru seburuk saat ini, dan budaya sekolah sebirokratis saat ini, lama bersekolah justru semakin menggerogoti kemandirian dan imajinasi, bahkan juga mengasingkan murid dari kehidupan nyata sehari-hari. Sekolah menjadi ladang pembantaian inovasi, tempat yang pengap bagi beragam ekspresi multi-ranah multi-cerdas murid-muridnya.

Yang kita butuhkan saat ini bukan perubahan kurikulum, tapi perubahan guru dan budaya belajar. Guru harus menjadi sosok yang mandiri dan teladan manusia merdeka yang tidak mudah diintimidasi oleh birokrat.pendidikan dan wali murid. Pembinaannya harus dilakukan oleh organisasi profesi guru, bukan oleh Pemerintah. Guru tidak boleh dipandang lebih sebagai pegawai, tapi sebagai profesional yang bekerja dengan berpedoman pada kode etik guru.

Budaya belajar dapat dikembangkan dengan sederhana. Mulailah dengan membangun budaya membaca yang sehat. Sediakan layanan perpustakaan yang baik, dengan koleksi buku yang bermutu, serta akses internet yang memadai hingga tingkat kecamatan. Kemudian hargai pengalaman dan praktek murid sehari-hari menjadi bagian dari diskusi kelas. Kembangkan budaya menulis, lalu beri kesempatan luas untuk berbicara. Begitulah budaya belajar di sekolah dibentuk. Jadikan sekolah sebagai tempat murid belajar, bukan sekedar tempat guru mengajar, dan statistik kelulusan ujian diukur untuk kepentingan birokrasi.

Di abad internet ini, belajar semakin tidak membutuhkan sekolah. Yang dibutuhkan adalah sebuah jejaring belajar (oleh Ivan Illich disebut learning web) yang lentur dan luwes. Murid bisa belajar di mana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja. Kurikulum, melalui guru, harus menyesuaikan murid, bukan sebaliknya. Dalam perspektif ini, kita tidak membutuhkan Kurikulum Nasional. Kita butuh standar nasional yang bersifat generik. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebenarnya sudah cukup baik, namun tidak terlaksanakan oleh guru yang kompeten yang berani secara kreatif merancang proses pembelajaran yang paling sesuai bagi murid-muridnya. Saya khawatir ikhtiar Kemendikbud kali ini akan sia-sia (lagi) dan Kurikulum 2013 akan menjadi perencanaan kegagalan pendidikan dan kita bakal menuai tagihan demografi, bukan bonus demografi.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar