Membangun Jiwa dengan Puasa
JURNAL pemikiran Islam, Islamia, (Insists-Republika) edisi 19
Juli 2012 menurunkan laporan utama tentang “puasa dan tazkiyyatun nafs”
(Puasa dan penyucian jiwa). Dalam artikelnya berjudul “Puasa: Tazkiyatun Nafs dan
Jasad”, Dr. Samsuddin Arif mengutip penjelasan
Fakhruddin ar-Razi yang menyatakan, bahwa orang yang ibadah puasa
Ramadhan merupakan bukti keislaman seseorang. Berpuasa merupakan bukti
pengokohan keislaman dan keimanan seorang Muslim.
Selain itu, tulis Dr.
Syamsuddin, puasa Ramadhan juga merupakan upaya penyucian jiwa (tazkiyyatun nafs). “Orang yang berpuasa sesungguhnya
mensucikan dirinya . Puasa adalah instrumen pembersih kotoran-kotoran jiwa,
seperti halnya shalat. Orang yang berpuasa tidak hanya menolak yang haram dan
menjauhi yang belum-tentu-halal dan belum-tentu-haram. Jangankan yang syubhat
dan yang haram, sedangkan yang jelas halal pun tak dijamahnya. Puasa berfungsi
mematahkan dua syahwat sekaligus: yakni syahwat perut dan syahwat kemaluan.
Demikian kata Imam ar-Razi dalam kitab tafsirnya (Mafatih al-Ghayb, cetakan
Darul Fikr Lebanon 1426/2005, juz 4, jilid 2, hlm. 68).”
Masih mengutip artikel Dr.
Syamsuddin Arif, disebutkan juga bahwa Syah Waliyyullah ad-Dihlawi
menyatakan, puasa itu ibarat tiryaq (penawar)
bagi racun-racun syaitan; atau semacam detoksifikasi spiritual. Dengan
puasa, terpukullah naluri kebinatangan (al-bahimiyyah)
yang mungkin selama ini menguasai seseorang. Puasa sejati melumpuhkan
syaitan dan membuka gerbang malakut (Hujjatullah
al-Balighah, cetakan Kairo 1355 H, juz 1, hlm. 48-50). Itulah sebabnya mengapa
dalam suatu riwayat disebutkan bahwa mereka yang berhasil menamatkan puasa
sebulan Ramadhan disertai iman dan pengharapan bakal dihapus dosa-dosanya
sehingga kembali suci fitri bagaikan bayi baru dilahirkan dari rahim ibunya.
Demikian kutipan artikel Dr. Syamsuddin
Arif tentang makna dan tujuan puasa Ramadhan yang begitu mulia. Pada
edisi yang sama, Jurnal Islamia-Republika juga menurunkan artikel Adnin Armas,
Direktur Eksekutif Insists, yang berjudul “Ar-Razi dan Konsep Manusia Mulia”.
Artikel ini sangat penting untuk kita baca dan renungkan. Kata Fakhruddin
Ar-Razi: “Manusia mulia adalah manusia yang mengutamakan wahyu Allah dan akalnya
dibanding mengikuti hawa nafsunya.” (Dikutip dari karya ar-Razi: Kitab an-Nafs wa ar-Ruh wa as-Syarh
Quwahuma; Buku Mengenai Jiwa dan Ruh dan Komentar
Terhadap Kedua Potensinya).
Fakhruddin ar-Razi adalah seorang
ulama-intelek yang berwibawa (m. 610 H/ 1210 M). Ia menulis ratusan kitab dalam
bidang Tafsir, Fiqih, Ushul Fiqih, Fisika, Filsafat, dan sebagainya. Menurut
ar-Razi, manusia memiliki hawa nafsu dan tabiat yang selalu berusaha
menggiringnya untuk memiliki sifat-sifat buruk. Tapi, jika manusia lebih
mengutamakan bimbingan wahyu Allah dan akal dibanding hawa nafsunya, maka ia
akan jadi mulia. Bahkan, manusia bisa lebih mulia dari malaikat. Mengapa?
Malaikat selalu bertasbih karena tidak memiliki hawa nafsu, sementara manusia
harus berjuang melawan hawa nafsunya. Demikian pendapat Fakhruddin ar-Razi.
Bagi Fakhruddin ar-Razi, kebahagiaan
jiwa atau kenikmatan ruhani lebih tinggi martabatnya dibanding kebahagiaan
fisik atau kenikmatan jasmani, semisal kenikamatan makanan, seks dan
hasrat memiliki materi.
Ar-Razi, seperti dikutip Adin Armas,
mengemukakan beberapa argumentasi. Di antaranya adalah sebagai berikut:
(1) Jika kebahagiaan manusia
terkait dengan hawa nafsu dan mengikuti amarah, maka hewan-hewan tertentu
-- yang amarah dan nafsunya lebih hebat -- akan lebih tinggi martabatnya
dibanding manusia. Singa lebih kuat nafsu amarahnya dibanding manusia;
burung yang lebih kuat daya seksualnya ketimbang manusia. Tapi, faktanya, singa
dan burung tidak lebih mulia dari nmanusia.
(2) Jika makanan atau seksualitas
menjadi sebab diraihnya kebahagiaan dan kesempurnaan, maka seseorang yang makan
terus menerus akan menjadi manusia paling sempurna atau paling bahagia.
Tapi, seorang yang makan terus menerus dalam jumlah berlebihan,
justru akan membahayakan dirinya. Jadi, sebenarnya makan adalah sekadar
untuk memenuhi kebutuhan jasmani, bukan menjadi penyebab pada kebahagiaan atau
pun kesempurnaan manusia.
(3) Kenikmatan jasmani sejatinya
bukanlah kenikmatan yang sebenarnya. Seseorang yang sangat lapar, akan segera
merasakan nikmat yang tinggi jika ia segera makan. Sebaliknya, seseorang yang
sedikit laparnya, sedikit pula rasa nikmatnya ketika ia makan. Seseorang
merasakan kenikmatan berpakaian saat ia merasa terlindung dari rasa dingin dan
panas. Ini menunjukkan, nikmat jasmani bukanlah kenikmatan
yang sesungguhnya. Jiwanyalah yang merasakan kebahagiaan; dan kebahagiaan jiwa
bukanlah kenikmatan jasmani.
(4) Hewan yang kerjanya hanya makan dan
minum serta malas untuk berlatih, maka ia akan dijual murah. Sebaliknya, hewan
yang makan dan minum serta mau berlatih keras, maka akan dijual dengan harga
yang tinggi. Kuda yang ramping, berlari kencang, lebih mahal harganya dibanding
kuda yang gemuk dan malas untuk berjalan. Jika kuda yang berlatih dihargai
lebih mahal, apalagi kepada makhluk hidup yang berakal. Jika manusia berlatih,
berkerja dan melakukan kebajikan, pasti lebih tinggi nilainya.
Menurut Fakhruddin ar-Razi, jika
manusia hanya sibuk dengan kenikmatan jasmani, maka daya spiritualitasnya akan
rendah dan intelektualitasnya tertutup. Ia akan tetap diliputi dengan
nafsu kebinatangan, bukan dengan kemanusiaan. Padahal, esensi kemanusiaan yang
sebenarnya adalah menyibukkan diri kepada Allah, Yang Maha Agung, supaya ia
menyembah-Nya, mencintai-Nya dengan sepenuh jiwa raganya. Kesibukan
dengan kenikmatan duniawi akan menghalanginya dari beribadah dan mengingat-Nya.
Cinta kepada kenikmatan jasmani akan menghalanginya untuk meraih Cinta kepada
Sang Khalik.
Pemikiran Fakhruddin ar-Razi tentang
konsep manusia yang mulia -- seperti diuraikan oleh Adin Armas tersebut
-- sungguh sangat inspiratif. Di tengah-tengah merebaknya pemujaan
terhadap budaya kuliner, hedonis, materialis, pornoaksi dan pornografi,
pemikirannya mengingatkan kita bahwa kenikmatan ruhani, kebahagiaan jiwa,
kecintaan untuk meraih ilmu pengetahuan, melakukan ibadah, menjauhi
kemaksiatan, melakukan kebajikan dan mencintai Allah dengan segenap jiwa dan
raga. Itulah esensi kemanusiaan.
Sebaliknya, cengkeraman hawa nafsu
yang menjebak manusia hanya memperbanyak kenikmatan jasmani akan menjauhkannya
dari Sang Maha Pencipta. Pemikiran ar-Razi mudah-mudahan bisa
menginspirasi kita untuk melakukan yang terbaik dalam kehidupan yang fana ini.
****
Rasulullah SAW bersabda: “Al-Mujahid man jahada nafsahu fil-Laahi
‘Azza wa-Jalla”. (Mujahid adalah seseorang yang melakukan
jihad melawan hawa nafsunya di jalan Allah). (Hadis Shahih, riwayat
Imam Tirmidzi).
Berjihad melawan hawa nafsu merupakan
perjuangan yang sangat berat. Karena itu, perjuangan ini memerlukan
kesungguhan, ilmu, dan pertolongan Allah SWT. Di dalam al-Quran
ditegaskan, bahwa orang-orang yang berhasil mensucikan jiwanya, adalah
orang-orang yang beruntung, yang meraih kemenangan (qad- aflaha man tazakka).
Pada tahun 1950, Prof. Dr. Hamka,
seorang ulama dan sastrawan terkenal Indonesia, telah menulis sebuah buku
berjudul Pribadi, (Jakarta: Bulan Bintang. 1982, cet. Ke-10). Menurut Hamka,
seorang dihargai karena pribadinya, bukan karena tubuhnya. Hamka menulis:
“Dua puluh ekor kerbau pedati, yang sama
gemuknya dan sama kuatnya, sama pula kepandaiannya menghela pedati, tentu
harganya tidak pula berlebih kurang. Tetapi 20 orang manusia yang sama
tingginya, sama kuatnya, belum tentu sama “harganya”, sebab bagi kerbau
tubuhnya yang berharga. Bagi manusia, pribadinya. Berilmu saja, walaupun
bagaimana ahlinya dalam suatu jurusan, belum tentu berharga, belum tentu
beroleh kekayaan dalam hidup, kalau sekiranya bahan pribadinya yang lain tidak
lengkap, tidak kuat, terutama budi dan akhlak.”
Fisik memang wajib dijaga dan diperkuat.
Haram hukumnya menyakiti tubuh. Tetapi, menurut Hamka, kadangkala, bagi
orang-orang tertentu, kekurangan dalam kesehatan dan kesempurnaan fisiknya,
tidak mempengaruhi untuk menjadi pribadi yang hebat. Socrates, seorang ahli
filafat Yunani kuno, tidaklah bagus tampang mukanya. Kepala sulah, perut
gendut, dan terkenal hidungnya pesek. Pendeknya tidak ada yang menarik hati
kalau hanya dipandang lahir. Tetapi bilamana dia telah mengupas suatu soal
dengan murid-muridnya maka seluruh murid itu akan lekat kepadanya.
Contoh lain, sebut Hamka, adalah pribadi
hebat dari Panglima Soedirman. Pribadi yang satu ini sungguh luar biasa. Biar
pun paru-parunya tinggal sebelah, Jenderal Soedirman memimpin gerilya dengan
ditandu; keluar masuk hutan; hujan kehujanan, panas kepanasan. Kelemahan
fisiknya tidak menghalangi semangat juang dan kepemimpinannya.
Jadi, kata Hamka, dalam rangka membentuk
pribadi, jagalah kesehatan! Dan jika terdapat kekurangan pada badan, pada
kesehatan janganlah putus asa membangunkan pribadi yang sejati. Sebab, pribadi
yang sejati ada pada jiwa manusia. Bukan pada fisiknya. Pepatah Arab
menyatakan:
Aqbil
’alan nafsi wastakmil fadhailaha,
Fa-anta
bin nafsi la biljismi insanu.
(Hadapkan perhatian pada jiwa,
sempurnakan keutamaannya,
Sebab dengan jiwamu, dan bukan dengan
badanmu, engkau disebut insan)
*****
Jadi, begitu pentingnya pembangunan jiwa
manusia. Bangsa Indonesia pun mengakuinya, sehingga dinyanyikan pula
dalam syair lagu kebangsaan Indonesia Raya: ”Bangunlah jiwanya, bangunlah
badannya!”
Tapi, marilah kita jujur, apakah
pembangunan jiwa ini benar-benar menjadi prioritas pembangunan di
Indonesia. Pemerintah memang sedang menggalakkan program Pendidikan
Karakter bangsa, tetapi pada saat yang sama, pemerintah juga secara sistematis
membiarkan proyek-proyek penghancuran karakter bangsa.
Lihatlah, bagaimana semakin maraknya
media massa melakukan pemujaan terhadap selebritis-selebritis yang jelas-jelas
melakukan tindakan tidak bermoral. Harian Republika (24 Juli 2012), memberitakan pernyataan Sekjen Komnas
Anak, Aris Merdeka Sirait, yang menyatakan keprihatinannya atas sambutan yang
berlebihan dari sekelompok orang terhadap bebasnya Ariel Peter Pan dari penjara
di Bandung. Padahal, tindakan Ariel yang menyeretnya ke penjara adalah tindakan
amoral yang sangat tidak patut dijadikan teladan bagi siapa pun.
Sebenarnya, media massa pun – terutama
sejumlah stasiun televisi – telah melakukan kesalahan yang sangat besar, dengan
melakukan pemberitaan yang berlebihan terhadap kebebasan seorang Ariel dari
penjara. Padahal, betapa banyak berita-berita lain yang lebih penting untuk
disajikan kepada masyarakat. Betapa banyak anak-anak bangsa yang
berprestasi tinggi di berbagai bidang ilmu pengetahuan, yang lebih patut
disajikan beritanya kepada masyarakat kita.
Apa pun yang terjadidi sekitar kita,
tanggung jawabnya ada pada pelaku dan pemegang kuasa negara. Tugas kita
hanyalah melakukan taushiyah; menyampaikan nasehat dengan cara-cara bijak. Yang
penting, diri kita, keluarga, dan sadara-saudara kita mudah-mudahan bisa
memanfaatkan bulan Ramadhan 1433 Hijriah ini dengan semaksimal mungkin untuk
beribadah kepada Allah; dalam rangka meraih derajat utama, yaitu derajat taqwa,
melalui puasa dan penyujian jiwa. Amin.*/Depok, 4 Ramadhan 1433 H
Oleh: Dr. Adian Husaini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar