Oleh : Olifia
Rombot, S.Sos., M.Pd.
A.Latar
Belakang Masalah
Pendidikan
inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan
kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan
dan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu
lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada
umumnya. [1]
Pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (1) yang menegaskan “setiap
warga berhak mendapatkan pendidikan”; Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32
ayat (2) yang menegaskan “setiap warga ank a wajib mengikuti pendidikan dasar
dan pemerintah wajib membiayainya”. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5 ayat (1) yang menegaskan “setiap warga
negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.
Undang-undang inilah yang menjadi bukti kuat hadirnya pendidikan inklusi
ditengah masyarah.
Pada pendidikan dasar, kehadiran pendidikan inklusi perlu mendapat
perhatian lebih. Pendidikan inklusif sebagai layanan pendidikan yang
mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus (ABK) belajar bersama anak
normal (non-ABK) usia sebayanya di kelas ank ar/biasa yang terdekat dengan
tempat tinggalnya. Menerima ABK di Sekolah Dasar terdekat merupakan mimpi
yang indah yang dirasakan orang tua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus.
Sayangnya, SD Inklusi yang sudah “terlanjur” menerima tidak langsung
dengan mudahnya menangani anak-anak yang sekolah dengan kebutuhan khusus itu.
Kurikulum harus dapat disesuaikan dengan kelas yang heterogen dengan
karakteristik ABK dan regular. Guru belum siap untuk menangani anak-anak
dikelasnya dengan karakteristik yang berbeda. Akhirnya, guru-guru yang
berhadapan langsung dengan ABK di kelas mengeluh dan sulit untuk mengajar satu
metode yang sama dan dengan perlakuakuan yang sama sehingga tujuan pembelajaran
tidak tercapai seperti yang diharapkan. Pengembangan kurikulum dapat dilakukan
sebagai upaya menciptakan pembelajaran yang menyenangkan dan tujuan
pembelajaran dapat tercapai dalam pendidikan inklusi.
Pendidikan inklusi di SD belum beriiringan dengan visi pendidikan belum
berdasarkan inklusi ethos yang mengedepankan keragaman dan kesamaan hak dalam
memperoleh pedidikan. Kurikulum dan metode pengajaran yang kaku dan sulit
diakses oleh ABK masih ditemukan pada kelas inklusi. Pengintergrasian kurikulum
belum dapat dilakukan oleh guru Karena kemampuan guru yang terbatas.
Guru-guru belum mendapatkan training yang praktikal dan kebanyakan yang
diberikan sifatnya hanya sebatas sosialisasi saja. Wali kelas dan atau guru
bidang studi yang kedapatan dikelasnya ada ABK masih menunjukkan sikap “terpaksa”
dalam mendampingi ABK memahami materi.
B.Isu-Isu
Kritis Pendidikan Inklusi di Sekolah Dasar
Saat ini,
pada pendidikan anak sekolah dasar makin banyak kita temui anak dengan
kebutuhan khusus (ABK). Kelapa SD daerah Palmerah yang ditunjuk sebagai
sekolah inklusi oleh gugus dan pengawas sekolah mengatakan semakin banyak ABK
yang dibawa orang ke SD ini. Dari tahun ketahun meningkat 10% jumlahnya.[1] Di
daerah Tangerang Selatan ada juga SD yang sudah mengobservasi angka ABK sejak
tahun 2009 dan sudah dapat dideteksi pada Pendidikan Usia Dini (PAUD).[2] Sekolah reguler dengan orientasi inklusif adalah lembaga yang
paling efektif untuk mengatasi diskriminasi, menciptakan komunitas ramah,
membangun suatu masyarakan inklusi untuk mencapai tunjuan pendidikan
nasional. [3]
Berdasarkan
difinisi dan turunan dari UU tentang pendidikan Inklusi anak yang tergolong ABK
adalah mereka dengan kesulitan belajar, anak lambat belajar, anak dengan
ganguan autis, anak dengan gangguan intelektual, anak dengan gangguan fisik dan
motorik, anak dengan gangguan emosi dan perilaku, anak berkelainan majemuk dan
anak berbakat. [4] Pendidikan inklusif berarti bahwa sekolah harus
MENERIMA/mengakomodasi semua anak, tanpa kecuali ada perbedaaan secara fisik,
intelektual, sosial, emosional, bahasa, atau kondisi lain, termasuk anak
penyandang cacat dan anak berbakat, anak jalanan, anak yang bekerja, anak dari
etnis, budaya, bahasa, minoritas dan kelompok anak-anak yang tidak beruntung
dan terpinggirkan. Inilah yang dimaksud dengan one
school for all”.
Indonesia menuju pendidikan inklusi secara formal
dideklarasikan pada tanggal 11 agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat
menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak
termasuk difabel. Setiap ABK berhak memperolah pendidikan pada semua sektor,
jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 6 ayat 1). ABK memiliki hak yang
sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya.
Sejak tahun 2001, pemerintah mulai uji coba
perintisan sekolah inklusi seperti di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
dengan 12 sekolah didaerah Gunung Kidul dan di Provinsi daerah Khusus Ibukota
Jogyakarta dengan 35 sekolah. Pada sekolah sekolah reguler yang dijadikan
perintis itu memang diuntukkan anak-anak lambat belajar dan anak-anak sulit
belajar sehingga perlu mendapat pelayanan khusus. Karena masih dalam tahap
rintisan sampai sekarang belum ada informasi yang berarti dari sekolah-sekolah
tersebut.
Delapan
sekolah di Kecamatan Tanah Grogot, Kabupaten Paser telah menerapkan kelas
inklusi untuk anak berkebutuhan khusus (ABK), yang telah berjalan selama dua
tahun belakangan ini. Kepala UPTD Pendidikan Kecamatan Tanah Grogot Rusnawati
saat ditemui dikantornya menjelaskan kedelapan sekolah dasar (SD) tersebut
diantaranyanya adalah SDN 014 , SDN 08, SDN 020, SDN 07, SDN 019, SDN 05, SDN
026, SDN 024 Tanah Grogot.[5] Namun disanyangkan pada tahun ajaran 2016/2017 SDN yang disebutkan
menolak menerima ABK dengan alas an tidak adanya guru pembimbing khusus /
guru kelas yang memiliki kompetensi untuk menangani ABK di sekolah-sekolah
tersebut.
Di Kabupaten
Bantul dari total 374 SD, baru 8 SD yang sudah menerapkan pendidikan secara
inklusif. Mereka memberikan kesempatan bagi penderita cacat atau anak berkebutuhan
khusus untuk mengeyam pendidikan di sekolahnya, sepanjang IQ-nya mampu mengi
kuti kegiatan akademik. [6] Menurut Ketua Paguyuban Penyandang Cacat Indonesia Cabang Bantul,
Jayusman, jumlah penderita cacat di Bantul mencapai 9.704 orang yang terdiri
dari tunanetra, tunadaksa, tunarungu, tunawicara, dan tunagrahita. Ia berharap
penderita cacat bisa mengakses ke pendidikan formal. Masalahnya adalah sarana
dan prasana belum menunjang menjadi isu utama.
Di sekolah
Inklusi (SD. Muhamadiyah di Gunung Kidul) sekolah ini punya murid 120 anak, 2
anak laki-laki diantaranya adalah Tuna Grahita, dua anak ini dimasukan oleh
kedua ibunya ke kelas I karena mau masuk SLBC lokasinya jauh dari tempat
tinggalnya yang di pegunungan. Keluarga ini tergolong keluarga miskin oleh
sebab itu mereka memasukkan anak-anaknya ke SD Muhamadiyah.[7] Perasaan mereka sangat bahagia dan bangga bahwa kenyataannya anak
mereka diterima sekolah. Satu anak tampak berdiam diri dan cuek, sedang satu
lagi tampak ceria dan gembira, bahkan ia menyukai tari dan suka musik, juga ia
ramah dan bermain dengan teman sekolahnya yang tidak cacat. Gurunya menyukai
mereka, mengajar dan mendidik mereka dengan mengunakan modifikasi kurikulum
untuk matematika dan mata pelajaran lainnya, evaluasi disesuaikan dengan
kemampuan mereka. Hal yang sangat penting disini yang berkaitan dengan guru
adalah anak Tuna Grahita dapat menyesuaikan diri dengan baik, bahagia dan
senang di sekolah. Ini merupakan potret anak Tuna Grahita di tengah-tengah
teman sekelas yang sedang belajar.
Di Indonesia telah dilakukan Uji coba dibeberapa
daerah sejak tahun 2001, secara formal pendidikan inklusi dideklarasikan di
Bandung tahun 2004 dengan beberapa sekolah reguler yang mempersiapkan diri
untuk implementasi pendidikan inklusi. Awal tahun 2006 ini tidak ada tanda-tanda
untuk itu, informasi tentang pendidikan inklusi tidak muncul kepada publik, isu
ini tenggelam ketika isu menarik lainnya seperti biaya operasional sekolah,
sistem SKS SMA dan lain-lain.
Pentingnya pendidikan inklusi terus menerus
dikembangkan karena memiliki kelebihan dan manfaat. Menurut Staub dan Peck
(1994/1995) ada lima manfaat atau kelebihan program inklusi yaitu:
1.
Berdasarkan hasil wawancara dengan anak non ABK di
sekolah menengah, hilangnya rasa takut pada anak berkebutuhan khusus akibat sering
berinteraksi dengan anak berkebutuhan khusus.
2.
Anak non ABK menjadi semakin toleran pada orang
lain setelah memahami kebutuhan individu teman ABK.
3.
Banyak anak non ABK yang mengakui peningkatan
selfesteem sebagai akibat pergaulannya dengan ABK, yaitu dapat meningkatkan
status mereka di kelas dan di sekolah.
4.
Anak non ABK mengalami perkembangan dan komitmen
pada moral pribadi dan prinsip-prinsip etika
5.
Anak non ABK yang tidak menolak ABK mengatakan
bahwa mereka merasa bahagia bersahabat dengan ABK
Dengan demikian orang tua murid yang tidak memiliki
anak dengan kebutuhan khusus tidak perlu kuatir bahwa pendidikan inklusi dapat
merugikan pendidikan anaknya justru malah akan menguntungkan.
[1] Hasil
wawancara singkat dengan Kepala SD di bilangan Jakarta yang ditunjuk sebagai SD
Inklusi. Nama dan Sekolah dirahasiakan untuk kepentingan sekolah.
[2] TK & SD Inklusif “Gemilang” di daerah Ciputat, Tangerang
Selatan. Penulis pernah terlibat sebagai guru, pembuat dan mengembangkan
kurikulum pendidikan inklusi sejak tahun 2009
C.Kedala
– Kendala Implementasi Pendidikan inklusi
Ada beberapa kendala yang ditemukan dalam
mengimplementasikan pendidikan inklusi. Kendala-kendala itu misalnya minimnya
sarana penunjang sistem pendidikan inklusi, terbatasnya pengetahuan dan
ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah inklusi menunjukkan betapa
sistem pendidikan inklusi belum benar – benar dipersiapkan dengan baik. Apalagi
sistem kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang memang belum mengakomodasi
keberadaan anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga
sepertinya program pendidikan inklusi hanya terkesan program eksperimental.
Kondisi ini jelas menambah beban tugas yang harus
diemban para guru yang berhadapan langsung dengan persoalan teknis di lapangan.
Di satu sisi para guru harus berjuang keras memenuhi tuntutan hati nuraninya
untuk mencerdaskan seluruh siswanya, sementara di sisi lain para guru tidak
memiliki ketrampilan yang cukup untuk menyampaikan materi pelajaran kepada
siswa yang difabel. Alih – alih situasi kelas yang seperti ini bukannya
menciptakan sistem belajar yang inklusi, justru menciptakan kondisi
eksklusifisme bagi siswa difabel dalam lingkungan kelas reguler. Jelas ini
menjadi dilema tersendiri bagi para guru yang di dalam kelasnya ada siswa
difabel.
Sekolah inklusi yang berhubungan langsung dengan
Angka Kredit sebagai bahan untuk kenaikan pangkat. Disisi lain, GPK disamping
bertugas di Sekolah Luar Biasa (SLB) sebagai sekolah induknya, mereka juga
harus datang ke sekolah inklusi yang menjadi tanggung jawabnya. Tidak jarang,
jarak yang ditempuh tidaklah dekat, artinya tidak bisa hanya dengan berjalan
kaki. Berkaitan dengan hal tersebut tidak dipungkiri mereka harus menge
luarkan biaya perjalanan, hal ini diharapkan menjadi perhatian, khususnya dari
pemangku tugas yang diberi wewenang dalam penyelenggaraan sekolah inklusi.
Hal lain yang juga mesti jadi perhatian bagi
penyelenggara sekolah inklusi adalah, penerimaan dan pengakuan warga
sekolah terhadap keberadaan Guru Pembimbing Khusus (GPK) di sekolah inklusi.
Kehadiran mereka dinantikan dan dibutuhkan oleh warga sekolah khususnya
guru kelas dan guru mata pelajaran. Mereka dalam bertugas bukan berdiri sendiri,
namun saling berkolaborasi dalam menangani Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
Tidak jarang
terjadi misunderstanding antara pihak sekolah inklusi mengenai peran dari Guru Pembimbing
Khusus (GPK) di sekolahnya. Tanggung jawab terhadap anak berkebutuhan khusus
dikelasnya tetap dipegang oleh guru kelas, bukan diserahkan sepenuhnya kepada
GPK. Melainkan antara guru kelas dan GPK saling bekerjasama dalam melayani
anak berkebutuhan khusus, mulai dari mengidentifikasi anak, mengasesmen
anak, sampai kepada menyusun Program Pembelajaran Individual (PPI) bagi anak
tersebut. Program Pembelajaran Individual (PPI) ini terkadang juga tidak
semua anak berkebutuhan khusus membutuhkannya. Disinilah GPK berperan yaitu
sebagai tempat berbagi pengalaman bagi guru kelas dan guru mata pelajaran,
karena tidak semua guru di sekolah reguler paham siapa dan bagaimana
menghadapi Anak Berkebutuhan Khusus serta apa pembelajaran yang dibutuhkan
mereka sesuai dengan kekhususan anak tersebut.
Rendahnya peran berupa kinerja guru inklusif,
dalam hal ini GPK, guru kelas dan guru mata pelajaran, diperkuat oleh temuan
penelitian yang dilakukan oleh Tim Helen Keller Internasional (2011) di
beberapa provinsi, salah satunya Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Menjelaskan bahwa guru dalam memperoleh pengetahuan dan keterampilan
hanya melalui program sosialisasi. Dalam konteks birokrasi program
sosialisasi lebih ditujukan untuk persamaan persepsi dalam pelaksanaan
suatu program daripada peningkatan kompetensi. Artinya guru belum mendapat
bekal kompetensi yang memadai dalam mengajar Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
pada sekolah penyelenggara inklusi. Sekolah inklusi adalah sekolah yang
memberikan kesempatan kepada Anak Berkebutuhan Khusus untuk belajar
bersama-sama dengan anak pada umumnya di kelas yang sama.
Sekolah penyelenggara pendidikan inklusi perlu
didukung oleh tenaga pendidik keahlian khusus dalam proses pembelajaran dan
pembinaan anak-anak berkebutuhan khusus secara umum. Salah satu tenaga khusus
yang diperlukan adalah Guru Pembimbing Khusus (GPK). Dalam Permendiknas No.
70 Tahun 2009 tentang Pedoman Implementasi Pendidikan Inklusi, ada 8
(delapan) komponen yang harus mendapatkan perhatian dari pemangku
kepentingan (stakeholder) sekolah inklusif, yaitu : (1) peserta didik,
(2)kurikulum, (3) tenaga pendidik, (4) kegiatan pembelaran, (5) penilaian dan
sertifikasi, (6) manajemen sekolah, (7) penghargaan dan saksi, (8) pemberdayaan
masyarakat. Tenaga Pendidik yang terdapat dalam point ke tiga adalah pendidik
profesional yang mempunyai tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada satuan
pendidikan tertentu yang melaksanakan program pendidikan inklusi.
Tenaga pendidik meliputi: guru kelas, guru mata
pelajaran, (Pendidikan Agam, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan), dan Guru
Pembimbing Khusus (GPK). Guru Pembimbing Khusus adalah guru yang bertugas
mendampingi anak berkebutuhan khusus dalam proses belajar mengajar di kelas
reguler yang berkualifikasi Pendidikan Luar Biasa (PLB) atau yang pernah
mendapatkan pelatihan tentang penyelenggaraan sekolah inklusif. Guru Pembimbing
Khusus adalah guru yang memiliki kualifikasi /latar belakang pendidikan luar
biasa yang bertugas menjembatani kesulitan Anak Berkesulitan Belajar
(ABK) dan guru kelas/mapel dalam proses pembelajaran serta melakukan tugas
khusus yang tidak dilakukan oleh guru pada umumnya. Subagya (2011).
Dengan
demikian, mengingat pentingnya peran dan tugas dari Guru Pembimbing Khusus
(GPK) dalam penyelenggaraan sekolah inklusi, yang mencakup segala
permasalahan Anak Berkebutuhan Khusus di sekolah. Maka antara kewajiban dan hak
mereka semestinyalah adanya keseimbangan. Sesuatu yang telah seimbang,
alhasilnya akan dipetik sesuai dengan yang diharapkan. Dengan adanya anggaran
tersendiri bagi Guru Pembimbing Khusus (GPK) sesuai kapasitasnya sebagai GPK,
maka sekolah inklusi yang sebenarnya akan terwujud, bukan sekedar pelabelan
dan formalitas semata.[9]
[9] arianhaluan.com/mobile/detailberita/46562/guru-pembimbing-khusus-dalam-inklusi
DAFTAR PUSTAKA
Eggen dan
Kauchak Don,.(2012). Strategi dan Model Pembelajaran. Jakarta: Indeks.
Berita
Pendidikan Inklusi. Sumber website: http://radarkaltim.prokal.co/read/news/3011-delapan-sekolah-terapkan-kelas-inklusi-abk.html
Pribadi, A.
(2009). Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Dian Rakyat.
Pengertian
Pembelajaran di Sekolah. Sumber website: http://www.sekolahdasar.net/2010/12/.html#ixzz48zqqcISG (diakses 19 Mei 2016)
Jurnal Pendidikan Inklusi. Sumber website:
arianhaluan.com/mobile/detailberita/46562/guru-pembimbing-khusus-dalam-inklusi
Jurnal
Pendidikan Inklusi. Sumber website: https://ml.scribd.com/doc/141223454 (Diakses 12 Mei 2016)
Koran Kompas.Com. Sumber website: http://edukasi.kompas.com/read/2009/10/21/17303324/baru.8.sd.terapkan.pendidikan.inklusif
Pendididkan Inklusi. Sumber Website:
http://file.upi.edu/Direktori/ /195412071981121- (diakses 15 Mei 2016)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5 ayat (1)
Peraturan Kementerian Pendidikan Nasional Nomor 70
tahun 2009, pasal 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar